Logo Patembayan Jawadipa

Written by 7:41 pm Sejarah Views: 234

Sanad Keilmuan Patembayan Jawadipa

SANAD KEILMUAN JAWADIPA

Dok. Progress PJD. Silsilah Panca Tirtha Pura Mpu Bharadah, Kediri (Daha).

Sanad Keilmuan itu penting dan tidak penting. Penting untuk meningkatkan keyakinan, tidak penting kalau sekedar buat kebanggaan saja. Patêmbayan Jawadipa lebih menitik beratkan kepada lelaku dan hasil, daripada sekedar bangga kepada sanad keilmuan. Setelah kami pertimbangkan masak-masak, maka tidak ada salahnya jika kami wedarkan. Namun jujur, keilmuan yang kami ajarkan tidak murni dari sanad ini, sudah bercampur dengan keilmuan lain yang kami dapatkan seiring perjalanan spiritual kami. Namun jikalau bicara sanad Jawadipa, maka sanad ini bisa dipakai.

Ilmu ini sebenarnya ilmu keluarga, tidak boleh dibuka untuk umum, mengingat zaman belum mengijinkan, demikian pesan Mbah Sari, nenek kami (Lihat urutan Ajar nomor 12). Sekarang baru kami buka, karena menurut kami, zaman sudah mengijinkan dan beberapa kali kami mendapat pertanda gaib agar membabar keilmuan Jawa Asli. Di bawah ini sanad keilmuan Patêmbayan Jawadipa :

  1. Ḍanghyang Labuhpati alias Ḍanghyang Angsoka. Hidup di Daha (Kediri, Jawa Timur) pada kisaran Abad 15 akhir – Abad 16 awal.
  2. Ḍanghyang Tohpati alias Ḍanghyang Darampalan alias Ḍanghyang Astapati. Hidup di Daha (Kediri, Jawa Timur) pada kisaran Abad-16
  3. Ki Ajar Songsong Gunung alias Ki Ajar Guntara. Hidup di Daha (Kediri, Jawa Timur) pada kisaran Abad-16.
  4. Ki Ajar Surasêntika. Hidup di Japan (Mojokerto, Jawa Timur) pada kisaran Abad 16 akhir – Abad 17 awal.
  5. Ni Gêjah Sayukti. Mengikuti suami pindah ke Gunung Damalung alias Merbabu, sekitar Magelang sekarang, Abad-17.
  6. Ki Ajar Wiramarta alias Ki Ajar Wilapa. Hidup di Gunung Damalung alias Merbabu sekitar Magelang sekarang Abad-17, kemudian pindah ke Daha (Kediri, Jawa Timur)
  7. Ki Jugil Awar-Awar. Hidup di Daha (Kediri, Jawa Timur) pindah ke Surakarta (Solo, Jawa Tengah) Abad-18
  8. Ki Ajar Jayanagara. Hidup di Surakarta (Solo, Jawa Tengah) Abad-18 kemudian hijrah ke Yogyakarta mengikuti Pangeran Mangkubumi, menjadi kawula Kasultanan Yogyakarta.
  9. Ki Radjiman Suryasangkara/Kyai Radiman. Hidup di Yogyakarta, Abad-19. Menjadi salah satu Panglima Perang Dipanêgara, melarikan diri ke Malang Selatan 1832 M karena kekalahan Pangeran Dipanêgara.
  10. Ki Wagimin Jayalêngkara. Hidup di Malang Selatan Abad-19.
  11. Ki Rasimin Sarpabaya. Hidup di Malang Selatan Abad 19 akhir – Abad 20 awal
  12. Ni Sari Pratignyarum. Hidup di Malang Selatan Abad-20.
  13. Ki Damar Shashangka alias K.R.T. Sastrasasangka. Hidup di Malang Selatan akhir Abad-20, hijrah ke Bogor awal Abad-21.

Sanad ini kami peroleh dari catatan nenek kami (Lihat Ajar No.12) yang mengalur kepada Ḍanghyang Labuhpati. Hanya sampai di sana, tidak ada keterangan lebih lanjut. Namun nenek sedikit menambahkan bahwasanya Ḍanghyang Labuhpati konon memiliki saudara yang menjadi guru dari sekalian masyarakat Bali. Artinya menjadi pengajar dan dan panutan bagi masyarakat Bali. Siapakah saudara dari Ḍanghyang Labuhpati? Masih belum terang bagi kami waktu itu.

Namun diam-diam kami terus mencari informasi, mengulik siapa sebenarnya saudara Ḍanghyang Labuhpati ini. Hingga di satu waktu, ketika nenek sudah meninggal, dan ketika pencarian kami sudah memakan waktu yang lama, baik melalui jalan skala (nyata) maupun niskala (gaib), akhirnya kami baru mendapatkan titik terang. Sudah lama kami mencurigai satu nama tokoh sebagai saudara Ḍanghyang Labuhpati, namun kami masih menyangsikannya. Kecurigaan kami tersebut menjadikan kami harus mempersamakan Ḍanghyang Labuhpati dengan Ḍanghyang Angsoka. Dan memang dalam catatan babad di Bali, Ḍanghyang Angsoka adalah kakak kandung dari Ḍanghyang Nirartha. Sedangkan Ḍanghyang Nirartha adalah peletak dasar Hindhu Bali yang dianut masyarakat Bali sampai sekarang.

Setelah berkali-kali dibenturkan oleh fenomena gaib, bahkan kami dibuat menjadi kebingungan, tanpa arah dan tanpa pegangan ketika mengajarkan keilmuan Jawadipa dan di saat yang sama menolak mempersamakan Ḍanghyang Labuhpati dengan Ḍanghyang Angsoka, maka pada akhirnya, melalui pencarian yang melelahkan, kami menyimpulkan bahwa Ḍanghyang Labuhpati adalah Ḍanghyang Angsoka itu sendiri yang merupakan kakak kandung Ḍanghyang Nirartha.

Itu artinya keilmuan Patêmbayan Jawadipa memiki sumber yang sama dengan keilmuan yang dikembangkan di Bali oleh Ḍanghyang Nirartha, yaitu ajaran Śiwa Buddha yang lebih kental dengan nuansa ajaran Jawa Asli. Walau kemudian di Bali, karena situasi dan kondisi yang genting waktu itu, seiring ekspansi kekuatan Islam yang sudah berhasil menyapu kekuatan Majapahit dan Pajajaran di Jawa, maka ajaran Śiwa menjadi lebih ditonjolkan daripada ajaran Buddha oleh Ḍanghyang Nirartha. Mengingat perlawanan fisik, peperangan, membayang-bayangi mereka yang mempertahankan ajaran leluhur. Ajaran Śiwa yang lebih menonjolkan Kawisesan, Kadigdayan, Taruk, Tantra bahkan Liak menjadi lebih diutamakan, dan hal itu lestari sampai sekarang.

Berbeda dengan Ḍanghyang Labuhpati atau Ḍanghyang Angsoka di Jawa, yang diwariskan masih relatif seimbang antara Jawadipa Śiwa Buddha. Dan keilmuan seperti itu yang kita warisi dalam Patêmbayan Jawadipa. Oleh karenanya, banyak yang bertanya-tanya ketika mendapati riwayat Ḍanghyang Nirartha yang konon di Jawa beliau berkeyakinan Śiwa Buddha yang cenderung Buddhis, namun ketika hijrah di Bali, menjadi hampir sepenuhnya menonjolkan ajaran Śiwa. Alasannya ternyata sebagaimana yang sudah kita kemukakan di atas.

Di Bali, Ḍanghyang Nirartha diterima oleh Ratu Gelgel, Dalêm Watu Rênggong (1480-1558 M) dan dijadikan purohita atau guru spiritual istana Gelgel. Bali waktu itu ada di bawah kekuasaan Kaḍaton Gelgel. Melihat situasi yang semakin kacau di Jawa, Dalêm Watu Rênggong akhirnya mengirimkan nawala atau surat kepada Ḍanghyang Angsoka. Isi nawala selain meminta bantuan beliau untuk pelaksanaan yajnya (upacara korban) yang akan segera dilangsungkan, namun sejatinya nawala tersebut merupakan ajakan kepada Ḍanghyang Angsoka untuk berkenan hijrah ke Bali mengikuti adiknya. Namun Ḍanghyang Angsoka menolak, beliau malah mengirimkan putranya Ḍanghyang Astapaka ke Bali. Ḍanghyang Angsoka sendiri memilih bertahan di Jawa mempertahankan ajaran leluhur dari agresifitas tentara Dêmak Bintara yang telah menciptakan ajang belanga pertumpahan darah di seluruh Jawa termasuk di Daha. Karena sikapnya yang kokoh bertahan di Jawa, untuk mempertahankan keyakinanya sampai mati, maka Ḍanghyang Angsoka dikenali dengan nama Ḍanghyang Labuhpati, nama yang disebut-sebut oleh nenek kami.

Daha (Kediri, Jawa Timur) adalah pusat spiritual Jawa Kuno. Di sana dulu mengumpul para Ajar, Rêsi, Wiku, Bhujangga, Wipra, Rakawi dan berbagai rohaniawan lainnya. Tanah Daha adalah wingit. Merupakan manḍala (pusat kegiatan spiritual) agung yang terletak di perkotaan.  Itu sebabnya, hingga masa Majapahit, siapa saja pejabat besar yang hendak diangkat di pusat, maka akan magang dulu di Daha. Dan Daha juga benteng terakhir Jawa Kuno. Benteng terakhir Majapahit Daha. Luluh lantak dihancurkan oleh Dêmak pada 1527 M. Dan pada saat gempuran pasukan Dêmak ke Daha tersebut, Ḍanghyang Angsoka atau Ḍanghyang Labuhpati gugur mempertahankan ajaran leluhur Jawa.

Masih ada satu benteng Jawa Kuno di ujung timur yang tidak tersentuh Dêmak sampai keruntuhan kesultanan Islam pertama di Jawa tersebut, yaitu Kaḍaton Balambangan. Kaḍaton Balambangan runtuh pada 1772 M. Namun eksistensi Daha (Kediri, Jawa Timur) tidak tergantikan karena merupakan pusat politik sekaligus spiritual terbesar masa Jawa Kuno. Jika Anda cukup peka, manakala Anda masuk ke kota Kediri, maka Anda akan melihat dan merasakan aura keagungan masa lalu. Dan keilmuan Jawadipa, mengalur ke tanah Kediri.

Kalau kita bicara spiritualitas Jawa, maka Kediri menjadi sumber keilmuan spiritual, selain Magelang. Kalau kita bicara ilmu kanuragan, maka banyak tempat bisa disebutkan. Tapi kalau spiritual Jawa Kuno, pusatnya hanya Magelang dan Kediri.

Danghyang Labuhpati ke atas masih keturunan Danghyang Asmaranatha atau Danghyang Sabda Palon itu sendiri. Danghyang Sabda Palon masih keturunan Danghyang Wiranatha atau Mpu Tantular, penganggit Kakawin Sotasoma yang salah satu slokanya tertulis kalimat : Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.

Nanti kita akan tulis sanad keilmuan sampai leluhur Danghyang Pasupati yang memiliki Padepokan di lereng Gunung Semeru. Padepokannya bernama Klampis Ireng. Yang hidup pada abad ke-7 (600 Masehi), pada masa Keraton Kanjuruhan berdiri di Malang Kuno.

Anda Cantrik Patembayan sebenarnya tengah mencecap keilmuan Danghyang Sabda Palon.

Saya sebenarnya enggan menulis ini, sudah dua tahun saya enggan. Tapi sepertinya sekarang harus ditulis karena banyak Cantrik yang tidak paham kalau Danghyang Labuhpati atau Danghyang Angsoka adalah putra Danghyang Sabda Palon.

Nuwun.

KRT. Sastrasasangka (Ki Ajar Jawadipa)

Download untuk melihat :

Visited 234 times, 1 visit(s) today
Share