Logo Patembayan Jawadipa

Written by 12:52 am Buku Views: 339

Sadulur Papat Kalima Pancer

Sadulur Papat Kalima Pancer

Dok. Progress PJD

Memandang Sadulur Papat Kalimå Pancêr selain harus berdasar kepada naskah warisan dari leluhur dari mana pengetahuan ini berasal juga harus disertai dengan lelaku bathin sebagai satu keniscayaan karena kita tengah membicarakan sesuatu yang bersifat batiniyah. Pengetahuan tentang Sadulur Papat Kalimå Pancêr tidak bisa didapatkan hanya mengandalkan kepada analisa logika semata, atau bahkan sekedar otak atik gatuk semata yang pada akhirnya menyimpang dari pemahaman yang benar. Dan senyatanya, di luar sana, pemahaman tentang Sadulur Papat Kalimå Pancêr banyak yang sudah bias sekaligus menyimpang dikarenakan para penuturnya tidak memiliki rujukan naskah kuno dan juga tidak memiliki sanad keilmuan yang menyambung langsung kepada para ajar-ajar masa lalu. Akibatnya mereka berbicara sependek pengetahuan mereka terkait Sadulur Papat Kalimå Pancêr, dan yang dipahami Sadulur Papat Kalimå Pancêr adalah sosok makhluk-makhluk gaib saudara manusia yang lahir bersamaan dengan kelahiran manusia di dunia. Bahkan bagi mereka yang memiliki rujukan naskah atau rontal kuno, jika tanpa mendapat bimbingan guru yang kompeten, juga rawan menyalah pahami sebagaimana pemahaman di atas, yakni Sadulur Papat Kalimå Pancêr dipandang sekedar makhluk-makhluk gaib pendamping manusia yang kelahirannya bersamaan dengan kelahiran manusia di dunia. Senyatanya, pemahaman seperti ini yang banyak beredar di tengah masyarakat. Sadulur Papat Kalimå Pancêr dipandang sekedar guardian angel atau malaikat penjaga sebagaimana pemahaman spiritualis kontemporer ala barat.

Apakah pandangan ini salah? Tidak ada yang salah. Hanya saja kurang mendalam dan kurang tepat. Munculnya pandangan seperti ini disebabkan level kesadaran mereka yang kebetulan sudah bisa bertemu Sadulur Papat Kalimå Pancêr masih kurang jernih dan mendalam, sehingga menyalah pahami apa yang muncul pada layar bathin mereka sebagai sosok-sosok makhluk gaib yang terpisah dari pribadi manusia itu sendiri. Sebagaimana manusia yang tengah bercermin, ketika dirinya belum sepenuhnya menyadari bahwa dirinya bercermin, maka rawan menganggap bayangan yang ada di dalam cermin adalah sosok yang terpisah dari dia yang tengah bercermin. Ujungnya mengira ada dua sosok, dua keberadaan, yaitu dirinya yang bercermin dan bayangannya yang ada di dalam cermin. Ilustrasi ini sangat tepat menggambarkan seorang pejalan sunyi, seorang pejalan spiritual yang masih belum jernih bathinnya sehingga tidak awas kepada keberadaan cermin kesadaran yang ada di depannya. Bagi yang sudah awas, mereka bisa menyadari bahwasanya ada cermin kesadaran yang memantulkan bayangan dia yang tengah bercermin, sehingga sudah tidak lagi khilaf bahwasanya yang terlihat di dalam cermin tiada lain adalah bayangan dia yang tengah bercermin.

Situasi seperti ini akan kerap terjadi diberbagai level kesadaran spiritual. Mulai dari level terendah sampai tertinggi. Dan level Sadulur Papat Kalimå Pancêr sesungguhnya masih ada dalam level rendah. Sehingga jika seorang pejalan spiritual masih terkecoh dengan bayangannya sendiri, maka patut diragukan pengakuanya yang sudah mampu menembus level yang lebih tinggi. Dalam level rendah saja masih terkecoh, bagaimana jadinya dengan level yang lebih tinggi? Dalam level rendah saja masih juga silap kepada keberadaan unsur jiwanya sendiri, pada bayangannya sendiri, pada Sadulur Papat Kalimå Pancêr-nya sendiri, bagaimana bisa dia mengaku mampu bertajali, mampu melihat Kesejatian Ilahi? Ini bisa menjadi bahan permenungan.

Sesungguhnya, sebagaimana sudah saya sampaikan diberbagai kesempatan pertemuan dengan Cantrik Patêmbayan Jåwådipa maupun Non Cantrik, bahwasanya Sadulur Papat Kalimå Pancêr tiada lain adalah jiwa kita sendiri. Lebih tepatnya Sadulur Papat adalah unsur jiwa kita, sedangkan Kalimå Pancêr-nya adalah Ruh, yaitu jadi diri kita yang sejati. Ruh kita adalah pancêr atau pusat. Yang memberikan daya hidup dan kekuatan kepada Sadulur Papat. Sadulur Papat adalah bias cahaya Ruh. Membias karena Ruh terhijab atau terjerat kondisi måyå. Ketika hijab itu tebal, maka bias cahaya Ruh pun menyata. Dan lahirlah jiwa kita, jiwa manusiawi. Kondisi keterhijaban ini disebut sebagai proses penurunan daya ilahi Ruh. Dimana sebagaimana matahari yang cemerlang gilang gemilang, begitu datang mendung tebal menutupi pancaran sinar matahari tersebut, maka yang tersisa adalah bias cahaya redup dari sang matahari. Matahari itulah Ruh kita. Mendung tebal adalah hijab atau måyå. Adapun bias cahaya akibat ketertutupan cahaya matahari oleh mendung, itulah jiwa kita.

Kita ini sebenarnya Ruh, bukan jiwa. Kita ini sebenarnya Ilahi, bukan fana. Dan pada buku ini kita akan membahas bias cahaya Ruh, yang disebut jiwa atau Sadulur Papat.

Penerbit : Manjer Wisesa

Visited 339 times, 1 visit(s) today
Share

Last modified: 5 Maret 2025