Arca Kuno di Gaprang, Blitar (Sumber: wikipedia.org).
Sebelum masuknya agama-agama dari Mancanegara, di Jawa sudah berkembang sistem kepercayaan yang sudah matang namun tidak dogmatis dan bersifat cair. Sistem kepercayaan itu kerapkali disebut sebagai Jawadipa. Inilah kepercayaan asli manusia Jawa. Jawadipa mengenal Tuhan dengan banyak sebutan, namun yang paling populer hingga sekarang adalah Sanghyang Urip. Sanghyang Urip bukan merupakan Tuhan Bersosok atau Berpribadi. Dia Abstrak seabstrak Urip (Hidup) itu sendiri. Bagaimana Anda bisa menggambarkan Urip (Hidup) dalam sebuah pribadi? Tidak bisa. Namun Anda pasti mengakui bahwa eksistensi Urip (Hidup) itu nyata dengan kehadiran Anda. Konsekwensi dari keyakinan semacam ini membuat Jawadipa tidak mengenal ritual penyembahan. Menyembah sesuatu yang tak terdefinisikan adalah perbuatan sia-sia. Namun demikian keyakinan Jawadipa mengenal lelaku bathin yang terbagi menjadi dua. Pertama lelaku TARAK, kedua lelaku TARUK. Secara harfiah TARAK artinya menjauhi dan menghindari. Lelaku TARAK identik dengan menjauhi dan menghindari kesenangan duniawi. Sedangkan TARUK secara harfiah artinya meletakkan. Lelaku TARUK adalah lelaku meletakkan segala pantangan, segala tarak, sehingga TARUK identik dengan menikmati kenikmatan duniawi. Jika TARAK bersikap menolak keduniawian demi meraih pencerahan, maka TARUK bersikap menikmati kenikmatan duniawi demi untuk meraih pencerahan itu sendiri. Jika TARAK menolak makan berlebihan dengan lebih banyak menjalani puasa serta menghindari makanan-makanan tertentu, maka TARUK berkebalikan dengan memakan segala tanpa batasan. Jika TARAK menolak kenikmatan senggama dan dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan rendah, maka TARUK mempergunakan kenikmatan senggama sebagai batu loncatan meraih kesejatian. TARAK menitik beratkan pada pengekangan demi mengikis hasrat keduniawian sedangkan TARUK menitik beratkan pada pelampiasan hasrat keduniawian sepuas-puasnya hingga mencapai titik kejenuhan akut kepada semua kenikmatan duniawi tersebut.
Gambaran dari lelaku TARAK dan TARUK ini diwujudkan dalam kisah Gagangaking dan Bubuksah. Dua bersaudara kakak beradik yang mencari kesempurnaan hidup dengan cara memilih lelaku yang berbeda. Gagangaking sang kakak memilih menjalani TARAK dan dia merasa benar dengan apa yang menjadi pilihannya sedangkan Bubuksah memilih menjalani TARUK dan dia senantiasa mendapat cemoohan dari sang kakak karena lelaku yang dipilihnya. Gagangaking keras menjalani tapabrata pengekangan inderawi sehingga tubuhnya menjadi kurus kering sedangkan Bubuksah membebaskan hasrat keinginan inderanya untuk menikmati kenikmatan duniawi, sehingga karenanya Bubuksah memiliki tubuh gemuk. Lelaku ini mereka jalani selama bertahun-tahun hingga banyak orang mengenali sosok Gagangaking sebagai pertapa suci sedangkan adiknya Bubuksah sebagai manusia yang cemar dan kotor. Hingga pada satu titik, Bubuksah menemukan kejenuhan menikmati segala bentuk kenikmatan duniawi dan dirinya beroleh kesadaran jernih. Berbeda dengan Gagangaking yang masih menyimpan hasrat keinginan duniawi terpendam dan semakin terikat dengan predikat sebagai seorang pertapa suci.
Dan Sanghyang Urip menguji kesadaran jernih mereka berdua. Seekor macan hadir di depan Gagangaking, macan kelaparan. Gagangaking yang ketakutan dan masih sayang dengan kehidupan duniawi menghela sang macan dan menunjuk ke tempat Bubuksah dengan menyatakan : Makan adikku, dia bertubuh gemuk. Aku tidak berdaging, tubuhku kurus kering.
Dan sang macan pergi mendekat ke arah Bubuksah. Bubuksah yang sudah tidak terlekati oleh keinginan duniawi, mengetahui ada seekor macan kelaparan datang, dia berkata : Makan diriku jika itu bisa memuaskan laparmu.
Seketika macan berubah menjadi Bhatara Kalawijaya yang menyatakan bahwa lelaku TARUK yang dijalani Bubuksah telah mencapai kesempurnaan. Kelak ketika Bubuksah meninggal, Bhatara Kalawijaya akan datang menjemput Bubuksah dalam wujud macan. Bubuksah dipersilakan menaiki punggung sang macan untuk dihantarkan ke Swargaloka.
Bubuksah memohon agar kakaknya bisa dibawa serta. Bhatara Kalawijaya menyetujui namun Gagangaking hanya boleh berpegangan pada ekor macan jelmaan Bhatara Kalawijaya. Gagangaking masih banyak menyimpan keinginan duniawi. Dirinya juga terikat dengan predikat sebagai manusia suci. Walau dia pantas masuk ke swargaloka, namun kedudukannya tidak akan sama dengan Bubuksah. Oleh karenanya Gagangaking cukup berpegangan pada ekor macan dan Bubuksah duduk di atas punggung macan. Macan sendiri merupakan simbol dari keakuan. Menduduki macan berarti mampu menjinakkan keakuan. Sedangkan berpegang ekor macan artinya masih terbawa keakuan.
Dikemudian hari ketika ajaran Syiwa dan Buddha masuk ke Jawa, lelaku TARAK memiliki kesamaan dengan YOGA dan lelaku TARUK memiliki kesamaan dengan TANTRA.
Dan ketika Islam masuk ke Jawa, yaitu masa Kejawen, Gagangaking digambarkan sebagai Syekh Damiaking sedangkan Bubuksah digambarkan sebagai Syekh Belabelu. Syekh Damiaking lebih cenderung ke fiqih sedang Syekh Belabelu lebih cenderung ke Tasawwuf.
KRT. Sastrasasangka (Ki Damar Shashangka)
Terkait
Bherawa Tantra Bubuksah Gagangaking Hindu Buddha Jawa Kuno Jawabuda Jawadipa Jawadwipa Kapitayan Kejawen Siwa Buddha Spiritual Jawa Kuno Tantra Tarak Taruk Yoga
Last modified: 1 Oktober 2024