Dok. Progress PJD.
Sasari atau Sasaren adalah upah sepantasnya dan sepatutnya bagi guru, ajar, brahmana, pandhita. Sebagai wujud pengorbanan dari sisya atau murid atau cantrik kepada sang guru atau brahmana atau ajar. Karena sang guru, brahmana atau ajar juga telah berkorban waktu, pikiran, tenaga serta kesabaran untuk melimpahkan keilmuan bagi sisya atau cantrik. Bentuk Sasari atau Sasaren bisa bermacam-macam. Pada jaman dahulu seorang sisya atau cantrik dari kalangan brahmana kaya, ksatria kaya dan wesya kaya, lazim mempersembahkan pikiran, tenaga, waktu, harta benda, uang, ternak, hasil panen kepada sang guru sebagai bentuk Sasari atau Sasaren. Adapun brahmana, ksatria dan wesya kurang mampu, mereka mempersembahkan pikiran, tenaga, waktu, harta benda semampunya sebagai Sasari atau Sasaren. Dan dari kalangan sudra, mereka mempersembahkan tenaga mereka, dengan mencangkul sawah atau ladang, menggembalakan ternak sang guru, atau menjadi asisten bagi sang guru, dan itu semua merupakan bentuk Sasari atau Sasaren. Bahkan ada pula sisya atau cantrik dari kalangan sudra yang seumur hidupnya tinggal bersama guru atau ajar mereka. Cantrik yang setia dan sangat dekat dengan guru atau ajar seperti ini kerap disebut Cantrik Puthut.
Tradisi Sasari atau Sasaren sudah ada sejak lama di tanah Jawa. Sehingga sangat mengherankan manakala pada masa sekarang, seorang yang mengaku melestarikan ajaran leluhur Jawa, masih ada yang terkejut atau pura-pura terkejut melihat tradisi Sasari atau Sasaren. Bahkan mempermasalahkannya.
Sasari atau Sasaren sendiri merupakan metode untuk melepas, berkorban, berlatih ikhlas, berlatih berbagi, berlatih berhatur terima kasih, serta berlatih meluruhkan kemelekatan berlebih kepada kepemilikan pribadi. Satu metode yang tidak asing, yang lazim dalam spiritualitas. Seseorang yang selalu meminta sesuatu dan tidak mau berkorban, jelas tidak bisa dipandang tengah melatih diri dalam spiritualitas. Tanpa tradisi Sasari atau Sasaren, seorang guru atau ajar malahan tidak memberikan pengajaran yang patut bagi sisya atau cantriknya. Seorang guru atau ajar secara tidak langsung malah memberikan contoh buruk kepada sisya atau cantrik untuk melekati harta bendanya, untuk tidak punya rasa terima kasih, dan untuk bersikap buruk mau menerima tidak mau memberi. Dengan Sasari atau Sasaren, ora ketang sebungkus kopi dan sebungkus gula yang tidak seberapa harganya, sisya atau cantrik diajarkan untuk berkorban bagi keilmuan yang sudah diterima dari seorang guru atau ajar.
Bagi Anda yang maido tradisi Sasari atau Sasaren, artinya Anda maido tradisi leluhur Anda sendiri yang sudah dijalankan selama berabad-abad. Dijalankan sebelum masuknya agama Islam di Jawa. Menjadi adil semenjak dari pikiran itu memang susah. Dan postingan seperti ini siapa tahu bisa membuat Anda berpikir adil, agar ‘ngilo jithoke dhewe’ (melihat tengkuk sendiri), untuk mawas diri, sebelum Anda maido keburukan orang lain yg blm tentu benar-benar buruk. Jika setiap ucapan dan tulisan Anda isinya maido, mungkin dulunya Anda lahir tidak diberi mantra suci, tidak diadzani, tapi dipaido berjamaah. Maka tidak heran hasilnya isi otak, ucapan dan tulisan Anda maido melulu.
Ki Damar Shashangka.
Terkait
Persembahan Sasari atau Sasaren Sesari
Last modified: 18 Mei 2025